Sebuah Langkah Keterbelahan Diri


I. Lahirnya Kegelisahan

“Imagine a group of people who have come together to socialize. The conversation is in full swing, lively, almost out of control. One person can hardly wait to have his say till the other is through with his, and everybody takes part more or less actively as in a debate”. (Soren Kierkegaard)

Manusia sebagai mahluk yang mendua telah menjadi bahan penelitian sekaligus melakukan eksplorasi atas kompleksitasnya dalam eksistensi mereka sejak munculnya sebuah peradaban yang pada akhirnya pergerakan dan perubahan tersebut sangat berkaitan erat dengan kebudayaan dalam keseharian mereka. Saat ini, di Indonesia, yang manusianya (masyarakat) masih mengalami proses beradaptasi antara global-lokal pun mengalami konflik untuk memahami diri sendiri dimana kenyataannya mereka masih terlalu dini saat bersentuhan dengan keseharian yang modern sebagai sebuah konsep kebudayaan dalam kesehariannya. Kecenderungan ini mengakibatkan manusia itu mengalami keterasingan pada diri sendiri dengan mereka sadari atau tidak sadari. Keterasingan ini pun berkembang menjadi puncak kejenuhan akan rutinitas pada keseharian mereka. Hingga seakan-akan, menyepi untuk mendapatkan ruang hening menjadi harapan. Bagi saya, disanalah letak konflik manusia saat ini; anxiety (kegelisahan). Ketimpangan dalam tingkatan sosial yang ada pun tidak mampu merangkul manusia dengan manusia lain untuk saling bekerja sama kecuali adanya satu kesetaraan semu yang telah dibentuk oleh kekuasaan yang berlaku. Sehingga manusia yang hidup dalam tatanan yang rapi dengan mengikuti segala aturannya menjadi cenderung kaku, jika boleh saya katakana; sebenarnya mereka telah kehilangan hasrat hidup untuk hidup dengan hidup itu sendiri. Dan manusia pun bermunculan menjadi seorang performer yang sangat handal dalam memanipulasi peran yang sedang dan akan dimainkannya, yang tentu saja tidak lain adalah penghancuran bagi diri sendiri, bahkan manusia di sekitarnya! Terselimuti oleh etika dan moralitas yang baku, kesadaran yang muncul pun menjadi kesadaran yang bukan kesadaran. Dalam hal ini (sebenarnya, ya!) saya menyangkal segala aturan yang berlaku pada tatanan doktrin agama, hukum negara, bahkan budaya dengan segala teori yang berlaku, seperti yang dikatakan oleh Friederich Nietzsche: ‘Pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri’ – ini adalah perangkap terakhir yang dipasang oleh moralitas, menjerat kita sepenuhnya sekali lagi’. Bagi saya, sejak manusia memasuki usia lima tahun dimana mulai beradaptasi dengan lingkungan sosial dan pendidikan sekolah, mereka sebagai manusia berangsur-angsur hilang. Sehingga manusia muncul hanya dengan kemanusiaannya saja, dan tentu keadaan ini tidak lain hanyalah kesemuan juga membodohkan. Suatu pandangan yang sangat menyesatkan. Karena mereka telah kehilangan hasrat dan keyakinannya akan insting dan intuisi pada diri sendiri. Nalar dan kesadaran kita selama bertahun-tahun dilatih dan ditata hingga membentuk satu karakter. Manusia dengan tubuhnya menjadi instrument (media) bagi kekuasaan, bisa saja; lingkungan dalam keluarga, lingkungan sosial, atau tatanan negara. Dalam hal ini, mungkinkah kesepakatan itu telah benar-benar kita sepakati sebagai panduan hidup atau kita hanya robot-robot yang sedang berbaris sangat rapi menuju ruang jagal. Akan menjadi perhatian saya selanjutnya; dimanakah letak kesepakatan pribadi? Bisakah kesepakatan pribadi berlaku?, paling tidak untuk diri sendiri. Dan yang paling mendasar, apa sebenarnya kesadaran dan kebenaran? Pendeknya, mampukah kita menjadi manusia dengan jiwa bebas? Bahkan jika keterasingan adalah sahabat kita, jadikan itu sebagai hasrat hidup! Sebagai pengikat hati kita untuk tetap menjadi manusia bebas. Disini keberanian menjadi cambuk yang sangat keji sekaligus melenakan. Karena itu manusia harus menjadikan dirinya sebagai subjek sekaligus objek atas pengalaman-pengalamannya hingga mampu mencapai tingkat kesadaran itu sendiri. Bagaimana pun manusia tidak akan mampu terhindar dari segala tatanan yang telah ada. Bisa dikatakan; bahasa, kata-kata, tata kalimat, bahkan hingga tata jiwa telah tertata rapi sejak kelahiran hingga kematian. Sehingga segala hal yang berlaku di dalam keseharian menjadi dilema yang tidak dapat dihindari dan sudah seharusnya tidak boleh dihindari, kecuali kita memilih menjadi pengecut! Kecenderungan manusia pada saat ini adalah melakukan pengasingan diri di ruang-ruang yang terisolasi dari perkumpulan bahkan ada yang menyepi dan hidup di hutan. Alam seakan-akan menjadikannya hidup damai dan terhindar dari kebisingan. Tapi sampai kapan mereka mampu bertahan terutama bagi para manusia mega kota? Mungkin saja kedamaian hadir dalam inderawi sebagai penyejuk tapi dapat dihitung dengan jari jika keadaan itu bukanlah obat yang mujarab. Karena akan muncul sebuah gelisah yang sesungguhnya; kebisisingan pikiran. Bagaimana pun, kepala (pikiran) kita bukanlah sebuah rel kereta api melainkan jaringan skizoprenik. Jadi, bunuhlah pikiran sebelum pikiran membunuhmu!


II. Ritus Ketelanjangan Diri

“Betapa anehnya penyederhanaan dan pemalsuan kehidupan manusia! Sekali kita mengarahkan mata pada keajaiban ini, maka kita akan dibuat terkagum-kagum selamanya! Lihat bagaimana kita membuat segala sesuatu menjadi cerah, bebas, bersinar dan sederhana!” (Friedrich Nietzsche)

Manusia modern lebih cenderung berproses dalam keinstantan dengan mencari pengobatan dan hingga pengampunan dari manusia lain (sesuatu yang diluar dirinya). Sedangkan pengobatan dan pengampunan itu sebenarnya hanya hadir dalam diri sendiri, dan jiwa kitalah yang hanya mampu menemukan solusinya. Dengan melihat, membaca, merasakan secara langsung secara detail tentang perasaan-perasaan sedih, pedih, senang, keputusasaan, ketidakpastian, hingga kematian akan membawa kita untuk benar-benar menghargai hidup yang kompleks. Kesadaran pun akan muncul dengan sendirinya, dan bahwa manusia hanyalah sekumpulan hewan yang memakai kostum dan berjalan tegak. Dalam contoh subjek di atas ini, memahami psikologi manusia menjadi sebuah proses dalam keseharian manusia itu sendiri adalah mutlak. Persoalan hidup manusia memang selalu dan akan terjadi dalam jalan panjang kehidupannya. Penderitaan dan tekanan psikis seringkali muncul mengiringi masalah tersebut. Kompleksitas ini pada akhirnya menjadi pangkal penderitaan. Derita yang gejalanya diawali dari ketidakmampuan pikiran mengendalikan persoalan tersebut. Kemudian muncul dalam bentuk kemarahan, kegelisahan, perasaan bersalah, hingga depresi. Bahkan dalam hal-hal tertentu dapat menjadi penderitaan fisik. Dari kalangan psikologi menyebut trauma yang disebabkan oleh proses derita mental ini disebut sebagai Psychosomatic Illness. 

Dalam penutup tulisan ini, saya katakan, manusia tidak akan dapat menemukan ruang heningnya jika manusia itu sendiri belum berani mengakui keberadaan dirinya sendiri dan menelanjangi kebinatangannya yang melekat pada dirinya sendiri. Karena hening muncul bukan dari sebuah tempat, tapi hening hadir dalam ruang dan waktu yang sedang kita jalani dalam keseharian kita. Begitulah seharusnya para performer; aktor-aktris maupun penari memaknai proses yang mereka lakoni. Bukan proses yang bertujuan untuk menjadi. Tapi ini sebuah proses yang bergerak bersamaan dengan menjadikan nafas dalam hidup kita, dan kita menjadi tidak terasing dengan peran yang sedang kita lakoni. Dan seni bukanlah sesuatu yang berkembang dari teori yang matematis kemudian karya tercipta dengan sendirinya dari keteraturan dan menjadi fenomenal. Teori adalah musuh terbesar bagi proses penciptaan karya seni itu sendiri. Seni (gerak) adalah sesuatu yang hidup, dia bergerak bersama dengan nafas yang kita miliki. Jika kita tidak mampu melakukan penghancuran bagi segala teori, janganlah berani mengatakan: kita hidup untuk seni! Seni merupakan cinta, sebuah anugrah yang penuh gairah, seni muncul dalam kesenangan sekaligus penderitaan. Dan teori hanya akan menjadi penjara bagi hasrat-hasrat tersebut. Selamat berjuang!

By Okty Budiati @Workshop 2010